Selasa, 23 Februari 2010

pasal 29

1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 
 
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu

karena dalam undang - undang yang mengatur tentang hak asasi manusia sudah jelas
di katakan bahwa setiap warga indonesia berhak memeluk agamanya masing - masing
sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya..dan negara menjamin adanya kebebasan ber agama
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/pasal-29

pasal 9

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berdyandji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusjawaratan rakyat atau Dewan Perwakilan rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) : ,,Demi Allah, saja bersumpah akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa." dyanji Presiden (Wakil Presiden) : ,,Saja berdyandji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewadjiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan mendyalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya sert berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
menjadi
1. Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : Sumpah Presiden (Wakil Presiden) : "Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
Janji Presiden (Wakil Presiden) : "Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknja dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa."
2. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilian Rakyat tidak dapat mengadakan Sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sugguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02

Pasal 5

1. Presiden memegang kekuasan membentuk undang-undang dengan persetudjuan Dewan Perwakilan rakyat.
menjadi
2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya


karena perisiden mempunya kewenangan untuk mngatur negara ini dan brtanggung jawab langsung atas rakyat yang di pimpinnya dengan landasan hukum yang jelas terulis dalam uud 1945 sera di bantu lembaga yudikatif yaitu MPR dan DPR

Pasal 30 Ayat (2) pada Bab XII Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara

PERUMUSAN DAN PENYUSUNAN PASAL 30 AYAT (2) PADA BAB XII UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
Oleh: Said Imran[1]  
"Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung."
(Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945)    
A. Umum
            Sebelum jauh melangkah ada baiknya terlebih dahulu memahami mengenai pemahaman makna antara Undang-Undang Dasar dengan Konstitusi. Pada umumnya, konsep pengertian antara Undang-Undang Dasar (selanjutnya disingkat dengan istilah UUD) dan Konstitusi hampir diberikan pemahaman yang sama diantara para kalangan masyarakat umum. Namun tidaklah demikian menurut ilmu teori hukum ketatanegaraan. Berdasarkan kajian akademis, konstitusi adalah hukum dasar (droit constitusionel) yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.[2] Konstitusi dapat berupa hukum dasar yang tidak tertulis dan dapat pula yang tertulis. Konstitusi yang tertulis inilah yang dinamakan sebagai UUD. Karena itu, UUD sebagai konstitusi dalam pengertian sempit ini merupakan konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari.Memasuki tahap perumusan suatu UUD maka dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai beserta norma-norma dasar yang ada, hidup dan berkembang dalam masyarakat, begitupun dalam praktek penyelenggaraan suatu negara / konvensi turut pula mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah UUD. Dengan demikian, nuansa atau suasana kebatinan yang menjadi latar belakang filosofis, politis, historis serta sosiologis perumusan yuridis suatu UUD perlu diketahui dan dipahami secara seksama guna mendapati pengertian yang sebaik-baiknya mengenai ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal UUD. Menurut pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH bahwa suatu UUD tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosofis, sosio-historis, sosio-politis, sosio-yuridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya.[3]Seiring perjalanan waktu dalam sejarah telah memberikan pula situasi dan kondisi kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran serta medan pengalaman suatu UUD dengan muatan yang berbeda-beda sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan UUD dapat terus berkembang dan melangkah maju dalam praktek di masa depan. Untuk itulah, penafsiran terhadap UUD pada masa lalu, masa kini, dan pada masa yang akan datang, menurut Jimly Asshidiqie, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga UUD tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.[4] Oleh karena itu, dalam menyertai perumusan dan penyusunan suatu naskah UUD diperlukan pula adanya pokok-pokok pemikiran konseptual yang melandasi ataupun mendasari setiap perumusan baik pasal-pasal maupun ayat-ayat dalam UUD serta keterkaitannya secara langsung maupun tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Pembukaan UUD 1945. Hal demikian akan membawa kita pula dalam pemahaman atas konsepsi tentang negara (staatsidee) sebagai pelengkap norma dasar seperti yang dikemukan dalam pidatonya dimuka Dokuritsu Junbi Cosakai di Jakarta pada tahun 1945.[5]Sehubungan hal tersebut, dalam upaya memahami perumusan dan penyusunan suatu pasal UUD 1945, penulis hanya membatasi pada Pasal 30 ayat (2) seperti yang tercantum pada awal pembukaan penulisan ini. Penulis akan mencoba mengulas pasal tersebut secara eksploratif dari konteks perspektif yang telah dijelaskan diatas. Kemudian, pembahasan ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi kepentingan khalayak umum dan khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami pasal tersebut.  
B. Sejarah Perumusan UUD 1945
Bagi negara Republik Indonesia kini, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai norma dasar, yakni sebagai sumber hukum positif. Rumusan hukum dasar dalam pasal-pasal yang terdapat pada batang tubuh UUD 1945 adalah pancaran dari norma yang ada dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Norma dasar ini dalam penjelasan UUD 1945 menyebutkannya sebagai “cita-cita hukum (rechtsidee)” yang terwujud dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.[6] Dengan demikian, pasal-pasal yang terkandung merupakan pencerminan perwujudan dari Pembukaan UUD dimaksud, begitu pula khususnya pada Pasal 30.
Dalam sejarah perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada akhir Mei 1945 di Jakarta, terdapat beberapa tokoh yang dikenal seperti Mr. Muhammad Yamin, Prof. Mr. Dr. R. Soepomo, dan Ir. Soekarno yang terlibat dalam proses perumusan dan penyusunan Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945.[7] Dalam prosesnya tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membentuk suatu UUD, diantaranya adalah:[8]
  1. Bahwa UUD merupakan sebagian dari dari hukum dasar.
  2. Bahwa terdapat pokok-pokok pikiran dalam "pembukaan."
  3. Bahwa UUD menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pasal-pasalnya.
  4. Bahwa UUD bersifat singkat dan supel.
 Ir. Soekarno, selaku ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat itu, menegaskan bahwa UUD 1945 merupakan UUD yang bersifat sementara (UUD kilat/revolutie grondwet), sehingga dimungkin dapat segera dilakukan perubahan yang lebih lengkap dan sempurna setelah Indonesia dalam kondisi bernegara dan merdeka didalam suasana yang lebih tenteram.[9] Hal ini menunjukkan adanya keinginan dari Bapak Bangsa untuk melakukan kemerdekaan Indonesia secepatnya dengan landasan hukum yang kuat, yakni suatu konstitusi tertulis dalam bentuk UUD.Perumusan dan penyusunan pasal-pasal dalam UUD 1945, jika ditinjau dari suasana kebatinan dan kondisi pada masa sebelum kemerdekaan RI, akan terlihat bahwa proses pembuatannya dilaksanakan dalam keadaan yang segera dan tergesa-gesa, ditetapkan dalam waktu 1 hari, berstatus sementara, muatannya tidak lengkap dan sempurna, serta ditetapkan bukan oleh badan yang mewakili rakyat.[10] Hal ini dapat dilihat dalam bentuk dan isi dari batang tubuh UUD itu sendiri yang singkat dan jelas, dimana sebagai salah satu syarat utama terbentuknya suatu negara yang merdeka. Hal ini pun memungkinkan pula bahwa UUD 1945 hanya memuat aturan-aturan pokok maupun garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan penyelenggara negara lainnya untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Hal tersebut diasumsikan bahwa khusus bagi negara baru dan negara muda lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok saja, sedangkan aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang-undang yang lebih mudah cara membuat, mengubah dan mencabutnya. Dampak dari hal diatas terpengaruh juga dalam proses perumusan dan penyusunan pasal-pasal keseluruhan dalam batang tubuh UUD 1945, terutama dalam Pasal 30 Bab XII tentang Pertahanan Negara. Pasal 30 ini pada awalnya tertulis sebagai berikut:[11](1)   Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.(2)   Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang. Karena demikian singkatnya, maka dalam Penjelasan tentang UUD Negara Indonesia pun dijelaskan dengan kalimat "Telah Jelas."  
C. Sejarah Perumusan UUD 1945 Hasil Amandemen.
Dalam perspektif teori hukum tata negara, tata cara perubahan UUD 1945 dapat dilakukan melalui dua pola, yakni Pola Belanda dan Pola Amerika Serikat.[12] Pola pertama adalah dengan mengubah langsung pasal yang bersangkutan, sedangkan pola kedua adalah dalam bentuk amandemen yang dilampirkan pada Konstistusi AS. Perubahan-perubahan tersebut mengandung maksud agar UUD merupakan UUD yang hidup (a living constitution).
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada lima periode UUD yang penah berlaku di Indonesia, antara lain:
  1. Masa UUD 1945, berlaku antara 17 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949;
  2. Masa Konstitusi RIS, berlaku antara 27 Desember 1949 s/d 17 Agustus 1950;
  3. Masa UUD Sementara 1950, berlaku anatara 17 Agustus 1950 s/d 5 Juli 1959;
  4. Masa UUD 1945, berlaku kembali sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 s/d 19 Oktober 1999.
  5. Masa UUD1945 Perubahan I – IV, berlaku sejak 19 Oktober 1999 s/d sekarang.
Adapun perincian perubahan UUD 1945 hasil amandemen sebagai berikut:
-         UUD 1945 Perubahan I, 19 Oktober 1999 s/d 18 Agustus 2000.
-         UUD 1945 Perubahan II, 18 Agustus 2000 s/d 9 November 2001.
-         UUD 1945 Perubahan III, 9 November 2001 s/d 10 Agustus 2002.
-         UUD 1945 Perubahan IV, 10 Agustus 2002 s/d sekarang.
 
Dalam empat periode terakhir berlakunya macam-macam UUD diatas, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7. Kurun waktu kedua berlaku sejak Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, sampai diubahnya UUD 1945 melalui proses amandemen.[13]
Pada proses amandemen UUD 1945 di akhir abad XX dalam era reformasi, MPR melalui Sidang Umumnya menetapkan Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 dengan mengubah beberapa pasal dalam UUD 1945.[14] Perancangan perubahan ini dilakukan dengan berlandasankan pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur tentang perubahan UUD. Perubahan Pertama tersebut kemudian dilanjutkan dengan Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga. Hal tersebut tampak jelas dalam penegasan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekerja MPR RI Untuk Melanjutkan Perubahan UUD Negara RI 1945. Tap MPR ini memerintahkan agar BP-MPR mempersiapkan rancangan termaksud untuk disahkan dalam Sidang Tahunan MPR pada tanggal 18 Agustus 2000.[15]
Seperti yang diamanatkan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 sebagaimana disebutkan diatas, maka pada Sidang Tahunan MPR pertama yang diselenggarakan pada tanggal 7 s/d 18 Agustus 2000 dilakukan Perubahan Kedua UUD 1945. Dalam Perubahan Kedua ini, para wakil rakyat tersebut melakukan perubahan terhadap pasal-pasal.[16] Pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 30 mengenai Pertahanan Negara, yang selanjutnya akan dibahas pada bagian berikutnya. Perubahan itu diantaranya dilakukan dengan mengubah rumusan pasal-pasal yang bersangkutan dan/atau dengan menambah beberapa ayat dari pasal yang bersangkutan.[17]
Sejak ditetapkannya Perubahan Pertama yang kemudian diikuti oleh Perubahan Kedua UUD 1945, di kalangan masyarakat sudah mulai timbul pandangan-pandangan kritis terhadap isi dari perubahan tersebut. Kritik tentang pertentangan antara isi pasal dengan penjelasan tersebut sebenarnya telah agak mereda setelah masyarakat menerima penjelasan bahwa MPR memang akan menghapuskan Penjelasan UUD 1945, dan akan mengambil butir-butir yang penting guna dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945.[18]  
D. Perumusan Pasal 30 UUD 1945 Hasil Amandemen II
Pasal 30 yang membahas masalah tentang Pertahanan Negara ini sebelum dilakukan perubahan hanya memiliki 2 (dua) ayat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal perumusan dan penyusunan pasal ini, kita dapat melihat dan meneliti dari maksud asli (original intend) ataupun pemahamannya pada saat rumusan pasal tersebut diperdebatkan pada Sidang Tahunan MPR 2000.
Hal tersebut dapat dilakukan penelitian secara historis pada Risalah Rapat Pleno ke-45 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Rapat ini diselenggarakan pada hari Selasa, 20 Juni 2000, pukul 10:00 s/d 11:46 WIB, dan bertempat di ruang GBHN dengan pokok acara: “Pembahasan tentang Rumusan Bab XII UUD 1945 tentang Pertahanan Negara.” Rapat Pleno ini dipimpin oleh Drs. H. Slamet Effendy Yusuf dan Drs. Ali Masykur Musa MSi selaku Sekretaris Rapat. Anggota yang hadir sebanyak 36 orang dan 9 orang tidak hadir.[19]
Berdasarkan jalannya rapat dalam risalah tersebut, acara dibuka oleh pimpinan rapat dengan 1 kali ketokan palu.  Pimpinan kemudian memasuki pembahasan Pasal 30 tersebut. Menurutnya masalah “tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara” ini sempat dibicarakan ketika membicarakan mengenai hak asasi manusia dan mengenai hak warga negara. Untuk selanjutnya pimpinan mempersilahkan pembicara dari berbagai fraksi untuk mengemukakan usulnya. Adapun pembicara dari berbagai fraksi beserta usulan atau pembahasannya mengenai Pasal 30 UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Drs. Anthonius Rahail (F-KKI)
F.KKI mengusulkan mengusulkan pasal 30 ini tetap dengan penekanan pada ayat (2). Disini dimaksudkan agar nanti didalam UU akan mengatur tentang fungsi dan peran militer dan kepolisian. Dua aspek yang ditekankan adalah: pertama, aspek dalam negeri adalah kepolisian yang dalam praktek menjaga keamanan dalam negeri. Kedua, keamanan negara ada pada militer yaitu luar negeri. Fungsi pertahanan adalah militer (AD, AL dan AU).  
2. Sutjipto, SH (F-UG)
Fraksi ini mengusulkan Bab XII menjadi 3 bab, yaitu Bab I tentang Pembelaan Negara, Bab 2 tentang TNI, dan Bab II tentang Kepolisian Negara. Fraksi UG memandang perlu dipisahkan tugas mengenai TNI dan Kepolisian.
3. Hendy Tjaswasdi, SH, SE, MBA, CN, Mhum (F-TNI/POLRI)
Fraksi ini menganggap bahwa pasal ini masih relevan sehingga diusulkan tetap. Dalam pengertian pertahanan dan keamanan, ada yang membedakan secara tegas pertahanan adalah mengahdapi ancaman dari luar dan keamanan adalah didalam negeri. Walaupun TNI identik dengan AD yang melakukan pertahanan tetapi hal itu memungkinkan, karena AL dan AU juga melakukan keamanan, menegakan hukum dan kedaulatan negara di udara dan laut. Sehingga jika pertahanan untuk TNI (AD, AL, AU) maka tidak ada payung UU/konstitusi yang melindungi AU dan AL bertugas sehari-hari.
4. Asnawi Latief (F-PDU)
Mengusulkan ada penyempurnaan dan atau penambahan judul bab sehingga menjadi Pembelaan dan Pertahanan Negara, untuk memayungi AU dan AL dalam membela. Disamping itu, bab tersebut dipecah menjadi 3 bab dengan penambahan 2 bab tentang TNI dan Kepolisian Negara. Kemudian fraksi ini pun mengusulkan adanya Bab tersendiri mengenai Kepolisian yang didasarkan mempunyai multi tugas sebagai penyelidik, penyidik, pengamanan, penertiban dan pengayoman terhadap masyarakat.
5. Sutjipno (F-PDIP)
Fraksi ini menyampaikan visi/pandangan konseptual tentang konsepsi Pertahanan Negara dan Keamanan Negara secara mendetail. Fraksi PDIP mengusulkan Bab Pertahanan Negara menjadi 2 Bab, yakni Bab XIII mengatur Pertahanan Negara dengan inti kekuatan adalah TNI dan Bab XIV mengatur Keamanan Negara dengan inti kekuatan adalah Polisi Nasional Indonesia.
6. Drs. Agun Gunandjar Sudarsa (F-PG)
Fraksi Golkar ini menyampaikan 4 pandangan, diantaranya substansi pertahanan negara erat kaitannya dengan substansi keamanan negara sehingga perlu adanya ketegasan dan pemisahan yang cukup tegas, penegasan TNI sebagai alat negara yang menjalankan kekuatan utama pertahanan negara, POLRI sebagai aparatur pemerintah yang bertugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban dalam negeri sekaligus aparat penegak hukum yang bertugas melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat berdasarkan hukum, adanya pembedaan fungsi dan kekuatan TNI & POLRI. Fraksi ini mengusulkan judul Bab dirubah menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Selain mengusulkan menjadi 3 Pasal, yang keseluruhannya terdiri 6 ayat, juga menyampaikan pasal yang mengatur hubungan interaksi ketika 2 institusi itu harus berhubungan dalam rangka melaksanakan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan.
7. Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin (F-PPP)
Fraksi ini mengajukan 4 ayat dalam bab ini. Dengan begitu tetap 1 bab  namun disempurnakan pada judul bab menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara. Fraksi ini mengusulkan masalah pertahanan dan keamanan negara diatur dengan UU sehingga masalah struktur internal masing-masing instansi diatur dengan UU lebih lanjut. Akan tetapi, pemisahan bidang pertahanan bagi TNI dan keamanan bagi POLRI tetap dibedakan.
8. Drs. Abdul Khaliq Ahmad (F-KB)
Fraksi ini memberikan pandangan sebagai berikut: dimensi force dan security harus direpresentasikan tertulis dalam konstitusi, TNI sebagai alat negara harus  ada penegasan eksplisit agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seprti pada masa lalu, institusi kepolisian juga harus eksplisit disebut dalam konstitusi karena fungsinya  sebagai alat keamanan negara juga sebagai penegak hukum. Fraksi ini mengusulkan nama Bab tidak berubah, tetapi terdapat penambahan pasal baru menyangkut susunan kedudukan dan tugas TNI & POLRI, profesionalisme dilingkungan tentara dan kepolisian dibidang masing-masing, dan penegak hukum yang independent dan bebas dari institusi lain termasuk militer dalam rangka penegakan supremasi hukum di Indonesia.
9. Ir. A.M. Lutfi (F-Reformasi)
Fraksi ini mengusulkan judul menjadi Pembelaan Negara dan memasukkan pasal 30 ini menjadi 3 pasal tentang Pembelaan Negara, TNI, dan POLRI, yang masing-masing terdiri dari 3 ayat.  Dalam salah satu ayat pasal tentang pembelaan Negara mencantumkan bahwa usaha pembelaan Negara dilakukan oleh TNI dan POLRI sebagai inti kekuatan dan dibantu oleh rakyat yang telah diorganisir, dilatih dan disiapkan secara khusus dalam pembelaan Negara.
10. Harun Kamil, SH (F-PDKB)
Fraksi ini berpendapat tetap pada pasal yang lama, namun ditambah ayat baru mengenai tanggung jawab TNI dalam hal memperthankan kedualatan dan keutuhan negara. Kemudaian fraksi ini menambah pasal baru yang memperjelas fungsi dan tugas POLRI yang diperbaharui.
Setelah seluruh fraksi yang hadir menyampaikan pendapat dan usulannya maka pimpinan rapat memberikan garis besar apa yang telah dikemukakan mengenai perumusan dan penyusunan  pasal 30 tersebut. Sidang kemudian diakhiri pada pukul 11:46 yang ditutup dengan ketokan palu sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian dari risalah tersebut maka original intend mengenai perumusan dan penyusunan pasal mengenai pertahanan Negara ini dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain:[20]
  1. Pandangan terhadap nama bab dan judul:
    1. Ada yang meminta tetap;
    2. Ada yang menggabungkan kata pembelaan dan pertahanan negara;
    3. Ada yang menggabungkan kata pertahanan dan keamanan negara;
    4. Ada yang meminta pembelaan negara;
    5. Ada yang memisahkan bab ini menjadi tiga, yakni scara berturut-turut adalah Bab Pertahanan Negara, Bab TNI dan Bab Kepolisian Negara.
  2. Pandangan tentang substansi Bab:
    1. Sebagian besar fraksi-fraksi memandang penting untuk melakukan pemisahan secara jelas fungsi pertahanan dan keamanan, walaupun demikian ada fraksi yang meminta supaya terdapat pengaturan interaksi diantara fungsi-fungsi tersebut;
    2. Mengenai keterlibatan rakyat, dalam hal ini adalah milisi ataupun rakyat terlatih.
 E. Analisa Terhadap Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945 Hasil Amandemen
            Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa perubahan terhadap perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 seperti tercantum pada awal tulisan ini adalah merupakan hasil dari Perubahan Kedua UUD 1945. Pemahaman yang kita ketahui mengenai adanya perubahan tersebut sebagaian besar adanya kehendak untuk memisahkan peran TNI dan POLRI dalam usaha dibidang pertahanan dan keamanan sebagai kekuatan utama dalam upaya peranan pertahanan dan keamanan negara yang dilaksanakan melalui suatu rumusan sistem yang disebut HANKAMRATA.[21]  Implementasi dari Pasal 30 tersebut diantaranya adalah adanya pemisahan TNI dan POLRI pada era reformasi yang menunjukkan paradigma baru ABRI dalam sistem ketatanegaraan. Hal ini mengandung maksud bahwa hampir diseluruh dunia, kepolisian bukanlah bagian dari fungsi militer melainkan polisi berada dibawah otoritas sipil yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban serta pengayoman terhadap masyarakat. Kerancuan terminologi yang disebabkan oleh menyatunafaskan pertahanan dengan keamanan pada masa rezim yang lalu telah membawa paradigma yang keliru sehingga para pengambil keputusan politik merespon tuntutan masyarakat untuk memisahkan  TNI dan POLRI.[22] Sesungguhnya mengenai permasalahan ini telah dibahas jauh-jauh hari sebelum berlangsungnya proses penyusunan dan perumusan Pasal 30 UUD 1945. Pendalaman materi peran TNI dan POLRI  telah dibahas oleh Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR pada hari Selasa, 22 Pebruari 2000, di ruang Nusantara IV dengan pimpinan rapat oleh Hj. Aisyah Aminny, SH.[23]
Dalam rapat pembahasan itu telah dijelaskan secara rinci mengenai reposisi, redefinisi, dan reorganisasi baik peran TNI maupun peran POLRI secara keseluruhan. Inti dari rapat tersebut salah satunya menyimpulkan bahwa dengan kewenangan POLRI dibidang keamanan, tidak berarti TNI dibebaskan dari urusan keamanan dalam negeri (Kamdagri) dalam kondisi tertentu dimana kedaulatan negara terancam maka TNI sesuai dengan ketentuan yang (akan) berlaku, baik UU Penanggulangan Keadaan Bahaya atau apapun bentuknya, nanti akan tampil untuk menegakkan kembali kedaulatan.[24] Penjabaran pemisahan TNI dan POLRI berikut perannya kemudian dituangkan dalam dua  bentuk Ketetapan MPR RI sebagai dasar sebelum adanya ketentuan perarturan perundang-undangan yang mengaturnya, antara lain adalah TAP MPR RI No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran POLRI. Dengan demikian, kedua institusi tersebut menjadi terpisah secara kelembagaan sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, yakni TNI sebagai alat negara yang berperan dalam pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan POLRI adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.[25]
Seiring perubahan terhadap Pasal 30 UUD 1945 yang semula terdiri dari dua ayat sehingga menjadi 4 ayat, telah memberi penegasan sebagai hukum dasar mengenai pengaturan masalah pertahanan dan keamanan. Pemisahan ini pula timbul dari suasana kebatinan dari para wakil rakyat yang hendak mewujudkan pemisahan dwifungsi TNI dan keprofesionalitasannya sebagai alat negara. Hal ini salah satunya mungkin mendorong munculnya langkah baru yang lebih inovatif yang telah mempengaruhi masuknya pasal itu.[26] Namun demikian, terhadap perubahan pasal tersebut tidak banyak dikomentari dalam kalangan TNI maupun POLRI, melainkan kedua institusi ini memberikan sikapnya dengan menyampaikan beberapa rekomendasi secara menyeluruh mengenai amandemen UUD 1945 yang secara garis besar mendukung sepenuhnya hasil Sidang Tahunan MPR tersebut.[27]
Pada bulan Agustus 2003, Tap MPR No. I/MPR/2003 mengugurkan kedua TAP MPR diatas setelah disahkannya Undang-undang yang mengatur tentang POLRI dan Pertahanan Negara. Begitu pula pada pertengahan bulan Oktober 2004, DPR mensahkan kembali UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dengan demikian, pada awal Maret 2005 telah ada UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri dan UU tentang TNI. Namun, satu hal yang menjadi persoalan hingga kini adalah belum adanya UU tentang “Keamanan Negara” guna merangkai Keamanan Negara dalam satu sistem dengan Pertahanan Negara, sehingga baik UU tentang Pertahanan Negara, UU tentang Polri maupun UU tentang TNI sama sekali tidak menyebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta sebagai landasan pokok pemikiran bahwa terdapat kaitan sinergis antara fungsi pertahanan negara dengan keamanan negara.[28]Dengan demikian, jika kita meninjau Pasal 30 ayat (2) dan konsisten dengan amanat pasal tersebut, yakni membangun sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, maka perlu disiapkan UU yang mengatur tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang isinya mengandung muatan semangat dan performa “sishankamrata.” Disamping itu, apabila penyebutan pertahanan negara dan keamanan negara dipilih sebagai istilah standar pada judul Bab XII UUD 1945 maka secara logika seharusnya dibuat UU yang mengatur Keamanan Negara untuk mewadahi UU tentang POLRI sebagaimana halnya UU Pertahanan Negara untuk mewadahi UU tentang TNI. Konsepsi pemikiran demikian seharusnya telah disadari sebelumya oleh para pembentuk UU sebagai implementasi dari perumusan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 sehingga rasio pemikiran terhadap pasal tersebut tidak menjadi rancu, dimana dibuat UU payung untuk melaksanakan UU kedua institusi tersebut agar saling bersinergis dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.Sinergi TNI-POLRI dalam rangka pengembangan wawasan sishankamneg dan penegakan hukum dapat dilihat dari beberapa hal yang urgensi, antara lain:[29] pertama, menetralisir adanya kesan bahwa secara kelembagaan POLRI sekarang "merdeka" dari pengaruh TNI sehingga bebas menentukan kebijaksanaannya sendiri. Kedua, mendorong perubahan perilaku polisi dari alat pertahanan dan keamanan dalam perspektif negara otoriter menuju alat penegak hukum didalam negara yang demokratis. Dan ketiga, mencegah adanya egoisme sektoral dan sebaliknya meningkatkan kerjasama diantara dua kekuatan yang sama-sama memiliki senjata, yakni TNI dan POLRI. Oleh karena itu ada baiknya UU payung yang akan mengatur masalah pertahanan dan keamanan negara seperti tersebut diatas, sepatutnya dibahas secara bersama dengan RUU yang relevan atau berkaitan dengan masalah tersebut, seperti RUU Rahasia Negara, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi, RUU Intelijen Negara, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Peradilan Militer sebagai bahan program legislasi nasional periode mendatang. Konsepsi pertahanan dan keamanan negara yang berorientasi ke masa depan perlu mampu mengantisipasi perkembangan di masa depan pula yang  berpengaruh terhadap masalah pertahanan dan keamanan. Sehubungan dengan hal itu, maka konsepsi pertahanan dan keamanan harus mampu melihat lingkup pertahanan dan keamanan negara secara utuh dan komprehensif yang mencakup:[30]
  1. kondisi obyektif bangsa dan negara saat ini;
  2. nilai budaya bangsa yang merupakan perpaduan dari ciri budaya maupun pengaruh empirik sejarah bangsa; serta
  3. kepentingan untuk mampu merespon tantangan masa depan.
Untuk memahami dengan seksama Pasal 30 ayat (2) tidak dapat terlepas dalam memahami Pasal 30 secara keseluruhan. Oleh karenanya wajib mengelar pasal 30 serta ayat-ayat yang terkandung didalamnya secara utuh dan lengkap. Dalam suatu negara demokrasi, kepedulian tentang pertahanan & keamanan negara dalam arti luas adalah hak dan kewajiban tiap warga negara sebagaimana tercantum di ayat (1) Pasal 30 UUD 1945.
F. Perbandingan dengan Negara lain
            Dalam hal membandingkan Pasal 30 UUD 1945 tersebut dengan pasal-pasal yang berkaitan atau berhubungan dengan bidang pertahanan dan keamanan pada beberapa konstitusi negara-negara asing yang diperoleh, maka sedikitnya dapat memberikan gambaran mengenai pasal yang serupa atau setidaknya terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan. Adapun konstitusi-konstitusi mancanegara itu terbatas pada konstistusi sebagai berikut:
1.      Konstitusi Amerika Serikat[31]
Dalam konstitusi AS, bidang pertahanan dan keamanan Negara tidak tercantum ataupun diatur secara eksplisit baik dalam artikel-artikel maupun pasal-pasalnya. Kendati demikian, masalah pertahanan disediakan bersama sebagai Rakyat AS pada pembukaan konstitusi sebagai salah satu tujuan memproklamirkan dan menetapkan konstitusinya..
2.      Konstitusi Australia[32]
Dalam konstitusi Australia terdapat satu pasal mengenai masalah pertahanan, yaitu Pasal 119 tentang Perlindungan atas Negara Bagian dalam Bab V mengenai Negara Bagian, yang berbunyi: “Persemakmuran akan melindungi tiap-tiap Negara Bagian terhadap invasi dan, dengan aplikasi dari Pemerintah Eksekutif Negara Bagian, menghadapi kekerasan domestik.”
3.      Konstitusi Belanda[33]
Menurut konstitusi Belanda bahwa masalah yang berkaitan erat dengan bidang pertahanan diatur dalam 6 pasal, yakni pasal 97, 98, 99, 100, 101 dan 102, dan masalah keamanan diatur hanya dalam satu pasal, yaitu pasal 103. Semua pasal ini termasuk dalam Bab V mengenai Perundang-undangan dan Administrasi yang masuk dalam Bagian 2 tentang Ketentuan Lainnya.
  4.      Konstitusi Jepang[34]
Berdasarkan pembukaan konstitusi Jepang bahwa Rakyat Jepang telah menentukan untuk memelihara keberadaan dan keamanan mereka. Namun hal tersebut tidak dijelaskan dalam pasal-pasalnya sehingga tidak ada pasal yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan Negara. Akan tetapi, terdapat 1 pasal dalam Bab II yang menjelaskan mengenai Penolakan Perang, yakni pasal 9 yang terdiri dari 2 ayat. Pasal ini menegaskan Rakyat Jepang mengharap perdamaian internasional yang berdasar keadilan & ketertiban sehingga dalam rangka memenuhi tujuan itu, AD, AL dan AU, seperti potensi peperangan lainnya, tidak akan dipelihara.
5.      Konstitusi Swedia[35]
Mengenai masalah pertahanan dalam konstitusi Swedia dinyatakan dalam dua Bab, yakni Bab 10 mengenai Hubungan Dengan Negara Lain, terdapat dalam pasal 9 yang terdiri dari 3 ayat. Pasal ini intinya adalah pengerahan angkatan bersenjata swedia. Sedangkan Bab lain yang lebih khusus adalah Bab 13 mengenai Peperangan dan Bahaya Peperangan, yang terdiri atas 13 pasal yang berkaitan atas berbagai hal apabila negera sedang berperang atau dalam bahaya perang.
              Demikian penyampaian penulisan kami dalam memahami proses perumusan dan penyusunan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 hasil Perubahan Kedua. Semoga dapat bermanfaat dalam menambah khasanah ilmu pengetahuan.  
* * *
   
Pembahasan selengkapnya silahkan lihat tesis kami yang berjudul:
POLITIK HUKUM KEAMANAN NASIONAL SEBAGAI AKIBAT PERUBAHAN PASAL 30 UNDANG-UNDANG DASAR 1945 TENTANG PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA.” JAKARTA: FHUI, 2006.

pasal 23 uud 45

AMembumikan Mandat Pasal 33 UUD 45
Oleh :
Arimbi HP dan Emmy Hafild

Diterbitkan oleh :
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
Fiends of the Earth (FoE) Indonesia
1999

Pendahuluan
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang Dasar 1945.
Penjelasan pasal 33 menyebutkan bahwa "dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang". Selanjutnya dikatakan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Sehingga, sebenarnya secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang-seorang. Dengan kata lain monopoli, oligopoli maupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber dayya alam adalah bertentangan dengan prinsip pasal 33.
Kemudian Hak Negara menguasai sumber daya alam dijabarkan lebih jauh -setidaknya-- dalam 11 undang-undang yang mengatur sektor-sektor khusus yang memberi kewenangan luas bagi negara untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta mengatur hubungan hukumnya. Prinsip ini tertuang dalam :
1. UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960;
2. UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967;
3. UU Pokok Pertambangan No. 11 tahun 1967;
4. UU Landasan kontinen No. 1 tahun 1973;
5. UU No. 11 tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Pengairan;
6. Uu 13 tahun 1980 tentang Jalan;
7. UU No. 20 tahun 1989 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan;
8. UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup;
9. UU No. 9 tahun 1985 tentang Ketentuan Pokok Perikanan;
10. UU No. 5 tahun 1984 tentang Perindustrian; dan
11. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati.

Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan (Indrawati,1995). Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Indrawati, ibid).
Jiwa pasal 33 berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol tidak tanduknya, apakah sudah menjalankan pemerintahan yang jujur dan adil, dapat dipercaya (accountable), dan tranparan (good governance).

Permasalahan dan Tantangan Global Pengelolaan Sumberdaya Alam

Masalahnya ternyata sekarang sistem ekonomi yang diterapkan bersikap mendua. Karena ternyata hak menguasai oleh negara itu menjadi dapat didelegasikan kesektor-sektor swasta besar atau Badan Usaha Milik Negara buatan pemerintah sendiri, tanpa konsultasi apalagi sepersetujuan rakyat. "Mendua" karena dengan pendelegasian ini, peran swasta di dalam pengelolaan sumberdaya alam yang bersemangat sosialis ini menjadi demikian besar, dimana akumulasi modal dan kekayaan terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta yang mendapat hak mengelola sumberdaya alam ini.
Sedangkan pengertian "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat" menjadi sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalti yang ditarik oleh pemerintah, dengan asumsi bahwa pendapatan negara dari pajak dan royalti ini akan digunakan untuk sebasar-besar kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam kegiatan mengelola sumberdaya hanya dalam bentuk penyerapan tenaga kerja oleh pihak pengelolaan sumberdaya alam tidak menjadi prioritas utama dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.

Sehingga akhirnya sumber daya alam dan kenikmatan yang didapat hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Maka ada erosi makna pasal 33 yang seyogyanya diberikan untuk kepentingan orang banyak. Contoh nyata dalam pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH) oleh Menteri Kehutanan pada 579 konsesi HPH di Indonesia yang didominasi hanya oleh 25 orang pengusaha kelas atas. Masyarakat lokal yang masih menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan dan ari generasi ke generasi telah berdagang kayu, harus diputuskan dari ekonomi kayu. Karena monopoli kegiatan pemanfaatan hutan dan perdagangan kayu pun diberikan kepada para pemegang Hak Pemilikan Hutan (HPH) ini. Monopoli kegiatan pemanfaatan ini malah disahkan melalui seperangkat peraturan, mulai dari UU Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1957 sampai peraturan pelaksanaannya yang membekukan hak rakyat untuk turut mengelola hutan. Seperti pembekuan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) bagi masyarakat lokal hanya melalui teleks Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur (Lihat teleks N0. 522.12/81/sj.). Begitu pula dalam bidang pertambangan Migas (Minyak dan Gas Bumi) dan Pertambangan Umum. Untuk kontrak bagi hasil dalam kuasa Pertambangan Migas, Pertamina (Perusahaan Minyak Negara) memang pemegang tunggal kuasa pertambangan Migas, tetapi kontrak bagi hasil dari eksploitasi sampai pemasarannya diberikan ke perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan dibidang pertambangan umum, rakyat penambang emas di Kalimantan Tengah dan Barat misalnya (Pemerintah mengistilahkan mereka sebagai PETI=Pengusaha Tambang Tanpa Ijin), harus tergusur untuk memberikan tempat bagi penambang besar. Dengan logika yang sama seperti di sektor kehutanan, penambang emas rakyat dianggap tidak mempunyai teknologi dan manajemen yang baik, sehingga 'layak' digusur hanya dengan dalih tidak mempunyai ijin. Sedangkan penambang emas besar dianggap akan memberikan manfaat besar karena kemampuan teknologi dan manajemen mereka. Rakyat pendulang emas tidak mendapat tempat sama sekali dalam kebijakan pengelolaan pertambangan di Indonesia, dan kehidupan mereka semakin buruk.
Praktek monopoli sumberdaya alam ternyata telah merambah kesektor pariwisata. Tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata tidak bebas lagi menuju kepantai. Praktik ini banyak terlihat di tempat-tempat wisata baru di Indonesia, seperti di Anyer-Jawa Barat dan Senggigi-NTB.
Sementara penghasilan negara dari sektor pengelolaan sumberdaya alam ini tidaklah langsung 'menetas' pada masyarakat lokal di sekitar sumberdaya alam itu sendiri (seperti yang diagungkan oleh pendekatan trickle down effect), melainkan lebih banyak ke kantong para pengusahanya dan ke pusat pemerintahannya. Tingkat korupsi yang tinggi, lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi serta akuntabilitas pemerintah menyebabkan upaya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sebesar-besarnya dari sektor pengelolaan sumberdaya alam menjadi kabur dalam praktiknya.
Ternyata kita menerapkan Pasal 33 dengan "malu-malu kucing". Jiwa sosialisme ini yang memberikan hak monopoli kepada Negara, dilaksanakan melalui pemberian peran yang sangat besar kepada swasta, dan meniadakan keterlibatan rakyat banyak dalam pelaksanaannya. Ini adalah sistem ekonomi pasar tetapi dengan mendelegasikan hak monopoli negara ke swasta. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia mengambil jiwa sosialisme yang paling jelek yaitu penguasaan dan monopoli negara, serta menerapkan dengan cara otoritarian. Serta mengambil sistem ekonomi pasar bebas yang paling jelek, yaitu memberikan keleluasaan sebesar-besarnya kepada pemilik modal, tanpa perlindungan apapun kepada rakyat kecil.

Sedangkan di pihak lain, tantangan-tantangan baru di tingkat global bermunculan, seperti adanya GATT (General Agreement on Trade and tariff), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), AFTA (Asean Free Trade Agreement) dan NAFTA (North american Free Trade Agreement). Era perdagangan bebas akan menyusutkan peran pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi. Sektor swasta akan menjadi semakin menonjol, dimana perusahaan-perusahaan besar dengan modal kuat akan memonopoli kegiatan perekonomian dunia. Sedangkan pasal 33 secara "kagok", kita harus mengkaji posisi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam dalam era perdagangan bebas yang akan melanda dunia. Karena itu mengkaji secara mendalam dan hati-hati akan makna dan mandat pasal 33 UUD 1945 menjadi sangat penting agar bangsa ini bisa terus ada dalam kancah pergaulan internasional tanpa harus meninggalkan jiwa kerakyatan yang terkandung dalam konstitusinya.
Penerapan Pasal 33 saat ini : Pengusaha Untung, Rakyat Buntung
Dalam perjalanan waktu, penerapan pasal ini dilapangan menimbulkan polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Apalagi jargon'demi kepentingan umum' dan atau 'demi pembangunan' seolah-olah menjadi cara sah untuk menggusur rakyat dari sumberdaya alamnya. Rakyatlah yang menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam diatas, tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Seperti kasus PT. IIU, rakyat tidak dapat lagi menikmati air bersih sumber penghidupan mereka, ladang penggembalaan mereka menghilang, terkena longsor dan banjir.
Pemberian HPH seolah-olah anugrah bagi pengusaha untuk memiliki kawasan HPH secara mutlak akan melarang masyarakat lokal untuk turut menikmati hutan tersebut, seperti mengambil damar, gaharu, menggembalakan ternak atau berburu. Lagipula, masuknya masyarakat lokal kedalam kawasan HPH dianggap sebagai perambahan dan mengganggu keamanan kawasan tersebut. Ini menunjukkan hutan produksi indonesia hanya dikuasai sekelompok orang dengan menegasikan kepentingan masyarakat luas. Lebih jauh, hasil penelitian WALHI tentang rente ekonomi penguasaan hutan di Indonesia menunjukkan bahwa pendapatan dari hasil eksploitasi hutan sebesar US$ 2,5 miliar pertahunnya, hanya 17 % yang masuk kekas negara, selebihnya masuk kekantung pengusaha.
Bank Dunia (World Bank, 1993) malah menghitung hanya 12 % yang masuk kekas negara.
Sistem Konsesi Kepemilikan kehutanan jelas telah mencabut masyarakat lokal dari sumberdaya kehutanan yang dahulunya pernah mereka nikmati. Sebelum sistem konsesi pada tahun 1970-an, masyarakat lokal Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi telah melakukan perdagangan kayu skala kecil selama ratusan tahun. Masyarakat Dayak di Kalimantan misalnya telah berdagang kayu dan produk hutan laninnya dengan Cina dan Arab.
Sedang disektor pertambangan, rakyat Amungme dan Komoro di bumi Irian kehilangan lahannya karena tergusur aktivitas pertambangan tembaga PT. Freeport. DiAceh Utara 82 Desa yang berada disekitar kegiatan pertambangan Minyak dan Gas Bumi PT. Mobil oil dan PT. Arun NGL, seringkali menerima 'getah' dari aktivitas kedua perusahaan itu. Terjadi semburan api tak terkendali (blow out) dan pecahnya pipa transmisi gas telah mencemarkan sungai dan perkebunan mereka. WALHI mencatat kejadian diatas terjadi berturut-turut pada tahun 1983/1984. Bahkan pada tahun 1992 rakyat di Desa Puuk telah menggugat Mobil Oil dan Pertama karena gagalnya panen udang/ikan akibat tercemar limbah minyak. Dikecamatan puruk Cahu, Kalimantan Tengah pendulang emas tradisional harus tergusur karena lahan tambangnya diberikan kepada perusahaan emas besar dari Australia, PT. Indo Muro Kencana. Sementara sekarang rakyat disekitarnya tidak dapat memakai air sungai karena tercemar limbah pertambangan. Dan banyak lagi kasus serupa yang semakin hari semakin meningkat ke permukaan, tanpa adanya sambutan penyelesaian yang berarti.
Sistem ekonomi rakyat lainnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang telah dihancurkan adalah rotan. Masyarakat lokal di Kalimantan dan sumatera telah berdagang rotan sejak lama. Tetapi sejak tahun 1989 -berdasarkan keuntungan dari perdagangan valuta asing yang didapat dari larangan ekspor log- aturan larangan ekspor rotan mentah diterapkan. Konon katanya untuk tujuan meningkatkan nilai (value added) dari pemrosesan rotan. Sayangnya peraturan ini memberikan monopoli pengusahaan rotan ke ASMINDO (Asosiasi Meubel Indonesia). Peraturan ini tidak lagi mengakui bahwa masyarakat di Kalimantan dan sumatera telah sejak lama melakukan ekspor rotan ke Jepang, Philipina, taiwan dan negara-negara lainnya. Dengan memaksa rotan harus diproses terlebih dahulu, lampit (sejenis karet terbuat dari rotan) yang dahulunya merupakan sumber uang cash bagi masyarakat adat di Kalimantan telah pula terkena larangan untuk diekspor. Hasilnya adalah bencana bagi banyak perekonomian rakyat didaerah itu.
Sekarang, perusahaan perabotan yang akan dikembangkan sebagian besar malah kolaps dan terkena kredit macet. Ekspor rotan hasil pemrosesan telah menurun tajam, sementara ekspor rotan mentah malah dimonopoli ASMINDO dibawah ekspor kemanusiaan (semisal ekspor rotan ke Jerman untuk pusat pelatihan cacat fisik). Sedangkan perekonomian rakyat di Kalimantan tidak pernah bangkit lagi.
Mirip dengan tragedi rotan adalah perekonomian jeruk dan cengkeh setelah adanya aturan tata niaga. Sampai lima tahun lalu, petani cengkeh dan jeruk adalah kelompok petani yang kaya di Indonesia. Mereka menikmati harga yang pantas karena tingginya permintaan domestik. Keadaan diatas telah berubah sejak BPPC (Badab Penyangga dan Pengawasan Cengkeh) terlibat dalam monopoli perdagangan cengkeh, dan BIMANTARA memonopoli perdagangan jeruk. Atas nama "membantu" para petani untuk menjaga harga, mereka memonopoli distribusi cengkeh dan jeruk. Para petani tidak diijinkan lagi untuk menjual langsung produknya, kecuali kepada para distributor yang ditunjuk oleh BPPC dan BIMANTARA.

Sejak itu harga cengkeh jatuh dari antara Rp. 6.000 - 12.000 menjadi hanya Rp. 1.500, bahkan seringkali di bawah harga RP. 1.500. Disamping itu, distributor yang ditunjuk, taitu Koperasi Unit Desa (KUD), tidaklah mempunyai kapasitas untuk membeli produk dalam jumlah besar dan menyimpannya. Sementara distributor independen akan terkena sanksi jika mereka melakukan aktivitasnya. Akibatnya para petani menjadi kelebihan cengkeh, tidak ada yang bisa membeli. Cengkeh banyak dibiarkan busuk dipohonnya. Banyak pula cengkehnya, karena biaya merawatnya jauh lebih tinggi dari harga jualnya. Kondisi petani jeruk tidaklah berbeda jauh dengan petani cengkeh. Begitu tata niaga kedua jenis ini tidak lagi menguntungkan, kedua perusahaan pemegang monopoli itu meninggalkan aktivitanya dan membiarkan perekonomian cengkeh dan jeruk dalam kondisi yang parah.
Sementara Bank Dunia menunjukkan walaupun Indonesia sudah melakukan pembangunan yang gencar dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% pertahun selama 25 tahun, dan menguras sumberdaya minyak dan hutan, Indonesia masih termasuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah (World Bank,1995). Dimana jumlah rakyat yang tergolong miskin hanya tinggal 27 juta saja pada tahun1994, yaitu sekitar 15% saja dari populasi total.
Data Bank Dunia, diatas mesti dilihat dengan cara pandang yang kritis. Tingkat kemiskinan ditentukan oleh bagaimana definisi miskin itu ditentukan. Bagi Indonesia, garis kemiskinan ditentukan oleh pendapatan sejumlah Rp.18.250 per bulan untuk daerah pedesaan dan Rp.28.000 untuk daerah perkotaan. Artinya orang dengan pendapatan tersebut diatas tidak lagi disebut miskin. Padahal, sangat dipahami pendapatan sebesar itu tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan sandang, pangan, papan apalagi rekreasi. Jika garis kemiskinan ini ditingkatkan menjadi dua kalinya saja, misalnya Rp. 56.000 untuk perkotaan, seluruh kebutuhan tersebut masih belum dapat dipenuhi. Dan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori berpenghasilan dibawah Rp. 56.000 ini sejumlah 75 juta jiwa.
Kecendrungan yang berkembang dalam pereduksian makna pasal 33 UUD 1945 malah semakin buruk, perubahan peruntukan lahan -tanpa mengindahkan penataan ruang- seperti yang terjadi dalam proyek perumahan dan bisnis Pantai Indah Kapuk di Jakarta, ternyata 'melegitimasi' Penguasaan Pantai pada satu kelompok saja, demikian pula kontroversi rencana pembangunan Pantai Utara Jakarta dan Teluk Naga, Jawa Barat. Dikawasan SIJORI (Singapura-Johor-Riau), sekelompok pengusaha telah menjual tanah dan pulau-pulau di propinsi Riau Kepulauan kepada Singapura, untuk kepentingan reklamasi pantai disingapura. Demikian pula berita, bahwa seorang pengusaha besar Indonesia telah menawarkan akan menyuplai air bersih kepada singapura, yang diambil dari air tanah dalam kawasan konsesi seluas 500.000 hektar di Propinsi Riau.

Kehadiran GATT (General Agreement on Trade and Tariff) dan Mekanisme Pasar Bebas
Pasar bebas adalah suatu keadaan dimana dua pihak melakukan transaksi dagang secara sukarela, dimana pihak penjual menyatakan kerelaannyauntuk menjual dan pihak pembeli kerelaannya untuk membeli dengan harga yang disepakati bersama. Mekanisme pasar dalam penentuan harga ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Jika permintaan meningkat, maka harga akan naik, permintaan turun maka harga akan turun. Sebaliknya jika penawaran tinggi, maka harga turun. Penawaran rendah, maka harga akan naik. Ekonomi didalam pasar bebas diatur oleh para pelaku, sedangkan intervensi pemerintah sangatlah minimal.
Pasar bebas juga mengasumsikan bahwa setiap prodeusen berada dalam situasi persaingan sempurna. Artinya tidak ada subsidi atau monopoli alam pasar. Harga sudah merupakan sesuatu yang mutlak ditentukan oleh pasar, sehingga produsen tidak bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan menentukan harga yang tinggi. Oleh karena itu, perusahaan akan menawarkan harga yang serendah-rendahnya agar dapat bersaing dipasar. Keuntungan perusahaan biasanya sangat sedikit, dan akumulasi kekayaan bukan dari margin keuntungan yang tinggi, tetapi dari omzet penjualan yang tinggi.
Konsep pasar bebas sebenarnya konsep yang ideal dan egalitarian. Perdagangan dilakukan secara sukarela, dan karena persaingan sempurna, maka konsumen akan mendapatkan harga yang semurah-murahnya, dan produsen mendapatkan keuntungan yang setimpal. Keuntungan produsen biasanya ditentukan dengan penekanan harga yang serendah-rendahnya.
Dalam prinsip ini, suatu ekonomi dikatakan efisien, jika tidak ada yang dirugikan dalam kegiatan yang membuat orang lain menjadi lebih baik (no one worse off to make some one better off).
Kelemahan pasar bebas adalah bahwa karena persaingan sempurna, maka yang kuat akan menang, yang lemah akan kalah.
Seseorang dengan modal dasar yang besar (kaya) akan lebih leluasa dalam melakukan transaksi dagang, dan mempunyai pilihan-pilihan lebih banyak. Akses kepada kapital, informasi, pendidikan dan hubungan relasinya pasti lebih baik dari seseorang dengan modal kecil(miskin). Keuntungan yang diraihnya akan jauh lebih besar daripada seseorang dengan modal lebih kecil.
Structural Adjustment Programs (SAPs)
Structural Adjustment Programs (SAPs) adalah program untuk menyesuaikan perekonomian suatu negara (biasanya yang berhutang berat) kedalam sistem ekonomi pasar bebas. Ada tiga hal yang dilakukan dalam SAPs ini, yaitu :
1. mengurangi defisit anggaran pemerintah
2. mengurangi defisit
3. membiarkan harga ditentukan sesuai dengan mekanisme pasar bebas
Hal-hal yang menyebabkan distorsi pasar seperti monopoli, subsidi harga atau penetapan harga dasar harus dihapuskan. Untuk menyeimbangkan anggaran belanja negara tersebut, maka anggaran-anggaran yang tidak perlu harus dihapuskan.
Sayangnya, pengurangan biaya pengeluaran negara biasanya sangat dipengaruhi politik negara tersebut. Misalnya, negara tidak akan mau mengurangi anggaran pertahanannya begitu saja, walaupun anggaran itu cukup besar. Biasanya, yang akan mendapat pemotongan adalah pelayanan kesehatan gratis dll. DiKenya misalnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan harus dikurangi, sehingga rumah-rumah sakit pemerintah kekurangan obat dan peralatan karena harus melaksanakan SAPs. Karena subsidi harga harus dihentikan, harga bahan makanan pokok menjulang tinggi, sehingga banyak rakyat yang menjadi bertambah miskin. SAPs menyebabkan yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah miskin.

SAPs, GATT dan Indonesia
Bagi Indonesia, dimana perekonomiannya bukanlah perekonomian pasar bebas, dan bukan pula perekonomian sosialis, melainkan monopoli karena relasi politik, proteksi dagang lebih diberikan kepada pengusaha besar dan bukan pengusaha kecil. Perdagangan bebas akan mempunyai dampak positif. Contoh dampak positif misalnya seperti harga mobil, kertas, dan semen akan turun. Konsumen akan mempunyai pilihan-pilihan yang lebih banyak dengan harga yang hampir sama dengan negara lain.
Indonesia tidak berada dibawah SAPs Dana Moneter Dunia. Karena SAPs yang berada dibawah Dana Moneter Dunia ini biasanya sangat kejam kepada rakyat kecil. Sampai saat ini, karena Indonesia belum mencapai kondisi krisis hutang (walaupun nyaris sedikit lagi) Indonesia masih berada dibawah SAPs Bank Dunia. Dlam SAPs Bank Dunia ini antara lain harus dilakukan beberapa perubahan seperti pengurangan peran negara dalam pengaturan kegiatan ekonomi, termasuk peran BUMN, penghapusan monopoli, menghilangkan subsidi BBM, listrik, dan terigu, serta pengetatan anggaran belanja negara.
Segi positif SAPs di Indonesia misalnya bahwa dana yang digunakan untuk membeli terigu dari Bogasari yang lebih mahal dari harga pasar dunia dapat dimamfaatkan untuk pelayanan kesehatan rakyat miskin. Monopoli BPPC terhadap cengkeh harus dihapuskan, demikian pula monopoli perdagangan jeruk oleh BIMANTARA, dan monopoli perdagangan rotan dan kayu oleh ASMINDO dan APKINDO. Sehingga rakyat dapat mengelola cengkeh, jeruk dan langsung dapat mengekspor kayu dan rotan.
Tetapi dampak positif ini tidak akan terasa kepada rakyat kecil jika pemerintah tidak dengan sungguh-sungguh melaksanakan kebijakan ekonomi yang memberdayakan rakyat kecil. Walaupun dalam sistem ekonomi pasar bebas peran negara dalam kehidupan ekonomi diminimalkan, intervensi pemerintah dalam batas-batas tertentu masih dapat dilakukan. Hanya dalam bentuk apa intervensi ini akan dilaksanakan, tergantung kepada komitmen politik pemerintah suatu negara. Intervensi pemerintah dalam sistem pasar bebas biasanya adalah dalam pendistribusian kekayaan dari si kaya kepada si miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas. Distribusi kekayaan dimana uang pajak ini lalu digunakan untuk program-program mengentaskan kemiskinan, bantuan kredit dengan bunga dibawah harga pasar, jasa informasi pasar, pelayanan kesehatan gratis, pemberian kupon makanan bagi rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan, pemberian bea siswa bagi anak-anak tidak mampu, ataupun penetapan dasar suatu harga barang tertentu.

Misalnya subsidi harga BBM di Indonesia. Biaya produksi BBm sebenarnya jauh lebih tinggi, sehingga kalau dibiarkan produsen menentukan sendiri harga BBM, sehingga akan mahal dan tidak terjangkau rakyat banyak. Karena itu, maka pemerintah mensubsidi harga BBM, dengan membeli harga BBM dari produsen lebih tinggi dari harga dasar jual yang kemudian ditetapkan oleh pemerintah.
Sebaliknya, untuk mengontrol agar harga beras tidak terlalu mahal, sehingga dapat dijangkau oleh banyak pihak dan agar tidak terjadi pergolakan politik, maka pemerintah Indonesia dan banyak pemerintah negara lain mengkontrol kenaikan harga beras dan delapan bahan makanan pokok. Disini pemerintah tidak mensubsidi petani, tetapi petani mensubsidi banyak orang dengan menjual dibawah harga pasar. Kebijakan seperti ini disebut dengan cheap food policy.

Dampak GATT dan SAPs pada Rakyat Kecil
Secara selintas, permasalahan ekonomi rakyat akibat adanya monopoli sumber-sumber daya mereka, tampaknya akan tertolong dengan adanya GATT. Karena GATT akan melarang adanya bentuk-bentuk monopoli itu. Tapi pada saat yang sama GATT juga akan membawa bahaya bagi petani di Indonesia.
Segi negatifnya, misalnya harga BBM akan naik yang akan mengakibatkan harga transportasi akan naik. Melihat tingkah laku inflasi di Indonesia, dimana setiap kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan harga-harga barang konsumsi, maka harga-harga barang konsumsipun akan naik. Kenaikan harga akan menimpa rakyat kecil jauh lebih berat daripada mereka dengan kondisi ekonomi lebih baik. Kemungkinan yang lain adalah kenaikan harga beras. Kenaikan harga beras akan menolong petani tetapi akan menyengsarakan rakyat miskin diperkotaan. Selain itu ada juga kemungkinan bahwa biaya pendidikan di sekolah negeri akan meningkat, demikian pula dengan biaya dan harga obat di Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS).
Namun bagi rakyat miskin di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 75 juta jiwa tersebut, GATT mempunyai dampak negatif. Seperti yang telah disebutkan dimuka, kelemahan utama sistem pasar bebas adalah bahwa yang kaya akan makin kaya, yang kuat akan makin kuat, yang miskin akan kalah bersaing dengan yang kaya. Dalam konteks global, negara miskin dan berkembang akan kalah bersaing dengan negara industri kaya. Negara industri menguasai teknologi dan informasi serta modal yang sangat diperlukan didalam suatu sistem persaingan sempurna.
Dalam hal ini, yang harus menjadi perhatian kita semua, terutama pemerintah adalah petani dan pengrajin serta pengusaha kecil. Didalam negeri, kelompok ini tertekan karena digilas oleh pengusaha besar tanpa ada usaha perlindungan dari pemerintah. Apabila GATT benar-benar diterapkan maka penggilasan itu akan menjadi ganda, tidak hanya dari pengusaha domestik, tetapi juga dari petani dan pengusaha negara industri kaya. Petani buah-buahan, petani produksi buah, pengusaha garmen kecil-kecilan, dsb akan kalah besaing dengan buah-buahan impor dan produksi pakaian impor. Demikian juga dengan peternaka ayam dan sapi. Peternak ayam kecil akan kalah bersaing dengan peternak ayam besar, karena peternak ayam besar akan lebih efektif (cost effective). Daging impor dari Australia dan Selandia Baru saat ini harganya sudah sama dengan daging lokal, bahkan ada yang lebih murah.
Dampak negatif dari perdagangan bebas dan SAPs yang langsung mengena rakyat miskin antara lain :
1. Upah buruh akan semakin ditekan, karena perusahaan harus menekan biaya, buruh akan semakin diperas.
2. Menurunnya ekonomi pedesaan karena kekalahan bersaing dengan produk pertanian internasional.
3. Meningkatnya urbanisasi kekota.
4. Meningkatnya sektor informal yang tidak dilindungi oleh Undang-undang dan peraturan perburuhan.
5. Lingkungan akan lebih terancam, karena perdagangan meningkatkan permintaan yang akan meningkatkan eksploitasi sumber daya alam.

Posisi dan Usulan WALHI
Perdagangan bebas kelihatannya tidak akan terelakkan, jika kita tidak siap maka perdagangan bebas bak "air bah" yang akan melanda negeri kita, dan hanya mereka yang kuat dan mempunyai informasi yang cukuplah yang sanggup bertahan. Dalam kondisi menuju perdagangan bebas diperlukan intervensi pemerintah untuk pendistribusian kekayaan dari si Kaya kepada si Miskin untuk mengurangi dampak dari persaingan bebas. Dalam konteks ini, seharusnya fungsi menguasai negara untuk kemakmuran rakyat diterapkan, dengan lebih menekankan fungsi pelayanannya (service), perlindungan serta pemberdayaan rakyat berekonomi kecil serta sungguh-sungguh, tidak hanya dalam bentuk pernyataan-pernyataan kosong.
Walaupun dalam era perdagangan dan pasar bebas, prinsip pasal 33 masih sangat relevan dalam pengelolaan sumberdaya alam kita. Peran negara dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan pasar bebas seharusnya difokuskan kepada pengaturan agar sumberdaya alam Indonesia tidak dimonopoli oleh sekelompok swasta atas nama negara dan agar dikelola secara berkesinambungan baik dari segi ekologis maupun ekonomis. Peran negara dalam "kepemilikan" yang dalam hal ini "monopoli kepemilikan" atas sumberdaya alam Indonesia sebaiknya dialihkan kepada peran "pengaturan" yaitu intervensi agar pengumpulan kekayaan dan modal dari hasil pengelolaan sumberdaya alam kita tidak terjadi hanya kepada golongan tertentu saja. Artinya, negara tidak bisa lagi mentransferkan hak monopolinya atas sumberdaya alam kepada segelintir swasta yang ditunjukkan.

Karena itu, praktik penguasaan sumberdaya alam secara monopolistis, seperti dibidang kehutanan dan pertambangan, yang didukung dengan seperangkat peraturan yaitu UU Pokok Kehutanan No.5/1967 dan UU Pertambangan No.11/1967 adalah bertentangan dengan makna pasal 33 UUD 1945. Sehingga sebenarnya praktek di bidang kehutanan dan pertambangan selama ini, yang didasarkan pada kedua Undang-undang itu adalah tidak sah.
Sebaliknya, negara harus membuka peluang rakyat sebesar-besarnya untuk ikut terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD 1945 harus diterjemahkan dalam situasi ekonomi sekarang sebagai "pengelolaan sumberdaya alam dengan sistem pasar bebas yang populis". Rakyat diberikan hak untuk memiliki dan mengelola sumberdaya alam dengan cara pengelolaan yang diatur oleh negara dengan cara demokratis.

Dapat disimpulkan bahwa, pasal 33 UUD 1945 bersifat populis karena menempatkan masyarakat sebagai kelompok utama, tetapi makna itu dikaburkan dalam kebijakan maupun aturan pelaksanaannya. Berdasarkan kondisi dan argumen diatas, maka terlihat ada beberapa masalah utama yang harus dikaji lebih jauh agar masyarakat luas dapat turut menikmati hasil-hasil sumberdaya alam. Secara rinci, maka usulan kami adalah sebagai berikut :
1. Bahwa harus disadari sumberdaya alam yang tersedia walaupun memang rahmat dari Tuhan, bukan berarti tidak ada pemiliknya. Sudah berabad-abad lamanya masyarakat lokal mengelola dan mempunyai akses langsung ke sumberdaya alam disekitarnya. Karena itu hak-hak mereka haruslah diakui baik dalam perundangan nasional, maupun kebijaksanaan sektoral.
2. Makna pasal 33 UUD 1945 tidaklah menutup akses masyarakat ke sumberdaya alamnya, sehingga setiap usaha penguasaan sumber-sumber daya alam haruslah melibatkan masyarakat, dalam pengambilan keputusan sampai skala menikmati hasil pengolahan sumber-sumber itu. Contoh buruk dalam pemberian konsesi kehutanan dan pertambangan harus dihapus. Dan karenanya perlu segera merevisi UU Kehutanan dan UU Pertambangan agar lebih berwawasan kerakyatan.
3. Keterlibatan masyarakat mutlak diperlukan dalam setiap pemanfaatan sumber-sumberdaya alam, tidak saja bagi penentuan arah tujuan suatu kegiatan tetapi juga sebagai sarana pengawas kegiatan pengolahan sumberdaya alam. Peran serta ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan hak negara yang dimandatkan pasal 33 UUD 45 untuk mengatur, menyelenggarakan, menggunakan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya alam serta pengaturan hukumnya. Dengan hak rakyat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari pengolahan sumberdaya alam itu.
4.
Pemerintah yang baik (good governance) sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam yang adil. Intervensi negara harus lebih difokuskan kebidang pelayanan umum, seperti pemerataan distribusi kekayaan antara si kaya dan si miskin lewat kebijakan pajak, pelayanan informasi pasar dan teknologi, pengaturan perundang-undangan anti monopoli dan anti trust, serta pemberian kredit usaha kecil.
E-LAW INDONESIA




http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/pasal-23-uud-45

Jumat, 12 Februari 2010

Puncak banjir jakarta



JAKARTA, KOMPAS.com — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia memprediksi bencana banjir di Jakarta akan datang lebih cepat, yaitu Januari 2010. Dengan kondisi Proyek Banjir Kanal Timur yang belum selesai, buruknya saluran drainase, masalah kerusakan di 13 aliran sungai, dan musim hujan yang mencapai puncaknya pada bulan itu, banjir diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
”Banjir diperkirakan makin besar karena berbarengan dengan datangnya banjir air pasang laut atau rob. Banjir terus terjadi karena negara salah urus dalam mengelola sumber daya dan penataan ruang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Ubaidillah, Rabu (18/11).
Walhi secara spesifik mengkritik kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, tidak juga ada kebijakan yang mampu mempercepat akselerasi program penanggulangan banjir.
Banjir kian menghantui warga Jakarta, setelah Fauzi Bowo sendiri, Selasa, mengingatkan warga yang tinggal di dekat Kali Pesanggrahan agar waspada.
Dengan banyak fakta yang mengkhawatirkan itu, Walhi mendesak pemerintah bertindak cepat dan tepat. Walhi juga meminta masyarakat Jakarta kembali bersiap menghadapi banjir.
Secara terpisah, Pemerintah Kota Jakarta Timur mengimbau pelaksana Proyek BKT menjaga kebersihan jalan yang dilewati truk-truk proyek yang mengangkut tanah galian. ”Saya sudah menerima banyak keluhan warga tentang tanah yang berceceran di jalan itu,” ujarnya. (NEL/WIN)
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02